MAKALAH
ILMU BAHAN MAKANAN
SUSU
Dosen
Pengampu : Ninik Rustanti, S.Tp, M.Si
Disusun
oleh
Kelompok VII :
1. Dian Wulandari 22030111120007
2. Hafidhotun
Nabawiyah 22030111130018
3. Verhoeven
Chelzea 22030111130029
4. Anggi
Novitasari 22030111130040
5. Linda
Apriliani 22030111130051
6. Hurul `Aini 22030111130062
7. Izzaty Izzul
Hawa 22030111130073
8. Asri
Subarjati 22030111140084
PROGRAM STUDI
ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada zaman dahulu, susu telah menjadi bahan pokok pangan
manusia. Susu diambil dari hewan yang memiliki kelenjar susu seperti sapi,
kambing, dan kerbau.
Susu diyakini memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Di Indonesia, dalam Pedoman
Gizi Seimbang (PGS), susu dimasukkan sebagai salah satu bahan makanan yang
dianjurkan untuk dikonsumsi sebagai sumber protein yang penting bagi tubuh. Di
beberapa bangsa terutama Bangsa Eropa, minum susu telah menjadi kebiasaan ketika
sarapan. Namun di Indonesia, menurut beberapa pendapat
mengenai perihal kebiasaan minum susu, orang Indonesia dinyatakan sebagai bukan
milk drinker.[1]Orang
Indonesia dinyatakan sebagai bukan milk
drinker maksudnya orang Indonesia, terutama orang Jawa, memiliki kebiasaan
makan nasi, mereka mengonsumsi susu hanya saat mereka mampu membelinya. [1]Hal
ini terjadi dipengaruhi oleh faktor pendidikan, ekonomi, dan persediaan.[1]
Seiring dengan kebutuhan manusia yang semakin bertambah,
produksi susu semakin ditingkatkan. Tidak hanya produk susu segar, tapi juga produk-produk
olahan susu yang semakin bervariatif. Bentuk susu yang
biasanya cair, bisa diolah dalam bentuk padat, gel, serbuk, dan bahkan dapat
dibuat kerupuk. Variasi ini memudahkan masyarakat untuk meningkatkan minat
dalam mengonsumsi susu.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenai jenis,
komposisi, syarat umum, sifat khas, hasil olah, manfaat, mutu dan penyimpanan
susu.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja jenis-jenis susu?
2.
Bagaimana komposisi dan nilai gizi susu?
3.
Apa syarat umum susu sehingga layak untuk dikonsumsi?
4.
Apa saja sifat khas yang dimiliki susu?
5.
Apa saja produk hasil olahan susu?
6.
Bagaimana manfaat susu bagi orang-orang yang
mengonsumsinya?
7.
Bagaimana mutu dan cara penyimpanan susu?
C.
Tujuan
Mengetahui jenis, komposisi, syarat umum yang baik, sifat
khas, hasil olahan, manfaat, dan cara penyimpanan susu.
D. Manfaat
1. Dapat menjadi salah
satu literatur yang membahas tentang susu.
2. Dapat menjadi salah
satu sumber referensi bagi penulisan makalah berikutnya.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Jenis
Susu
1. Susu Sapi
Susu sapi disebut juga darah putih bagi tubuh
karena mengandung banyak vitamin dan berbagai macam asam amino yang baik bagi
kesehatan tubuh.Tiap 100 Gram susu sapi
mengandung :
Kalori (Kkal) 61,00
Protein (g) 3,20
Lemak (g) 3,50
Karbohidrat (g) 4,30
Kalsium (mg) 143,00
Fosfor (g) 60,00
Besi (g) 1,70
Vitamin A (SI) 130,00
Vitamin B1 (tiamin)(mg) 0,03
Vitamin C (mg) 1,00
Air (g) 88,33
Menurut jenis sapi perah, susu sapi
dibedakan menjadi enam. Komposisi rata-rata zat-zat makanan yang terdapat dalam
air susu dapat dilihat pada table berikut.[1]
Jenis
|
Bahan kering
|
Protein
|
Lemak
|
Laktosa
|
Mineral
|
FriesHolland
Ayrshire
BrownSwiss
Guernsey
Jersey
Zebu
|
12.20
13.10
13.30
14.40
15.00
13.30
|
3.10
3.60
3.60
3.80
3.90
3.40
|
3.50
4.10
4.00
5.00
5.50
4.20
|
4.90
4.70
5.00
4.90
4.90
5.00
|
0.70
0.70
0.70
0.70
0.70
0.80
|
Susu sapi mengandung sedikit sekali
zat besi, mineral yang berfungsi penting dalam pembentukan sel darah merah dan
pertumbuhan. Pemberian susu sapi sepanjang tahun pertama, meningkatkan resiko
anemia akibat defisiensi zat besi yang berhubungan dengan kelambatan
perkembangan mental dan fisik. Untuk itu, susu sapi tidak baik dikonsumsi bayi.
2. Susu Kambing
Dewasa ini susu kambing mulai banyak diproduksi di Indonesia. Susu kambing adalah susu yang dihasilkan oleh kambing betina setelah melahirkan, dalam jangka waktu 0-3 hari
dihasilkan susu kolostrum yang mengandung sangat banyak zat gizi jika dibandingkan
dengan susu sapi. Susu Kambing dapat menjadi alternatif
bagi konsumen yang mempunyai alergi terhadap susu sapi. Keistimewaan susu kambing diantaranya :
a)
Kaya Protein,
enzim, mineral, vitamin A, dan Vitamin B (riboflavin). Beberapa jenis enzim
juga terdapat dalam susu kambing, antara lain : Ribonuklease, Alkalin Fosfate,
Lipase, dan Xantin Oksidase. Sementara beberapa mineral yang terkandung dalam
susu kambing yaitu Kalsium, Kalium,
Magnesium, Fosfor, Klorin dan Mangan.
b)
Mengandung
Antiantritis (inflamasi sendi).
c)
Mempunyai
khasiat untuk mengobati Demam Kuning, Penyakit Kulit, Gastritis (gangguan
lambung), Asma, dan insomnia (sulit tidur).
d)
Molekul lemaknya
kecil sehingga mudah dicerna.
e)
Bila disimpan di
tempat dingin, tidak merubah kualitas khasiatnya.
Ciri-ciri susu kambing murni yang dalam keadaan baik
dapat mudah dikenal dari fisiknya sebagai berikut :
1. Bila kondisi beku -18 derajat susu harus terlihat
berwarna kekuning-kuningan (kandungan kalsium
tinggi)
2. Mudah cair dalam suhu ruang (kandungan air rendah)
3. Mudah diremas setelah dikeluarkan 30 menit dari
freezer
4. Aroma susu tercium dengan rasa sedikit manis dan
gurih
5. Krim susu dengan air menyatu dan tidak
pecah/menggumpal
6. Bau khas kambing tidak tercium menyengat
Faktor yang menyebabkan susu
kambing murni menjadi berubah diantaranya :
1. Susu sudah melebihi batas waktu penyimpanannya
2. Suhu tempat penyimpanan yang tidak standart/tidak
stabil
3. Mengalami beberapa kali cair kemudian membeku
kembali
4. Kebersihan kandang yang tidak terjaga serta pakan
yang kurang berkualitas
5. Tercampur dengan kolostrum susu kambing pada awal
masa kelahiran
3. ASI
Air susu ibu atau ASI adalah susu yang diproduksi oleh
manusia untuk konsumsi bayi
dan merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat mencerna makanan padat. ASI diproduksi karena pengaruh hormon prolactin dan oxytocin setelah kelahiran
bayi. ASI pertama yang keluar disebut kolostrum
atau jolong dan mengandung banyak immunoglobulin IgA yang baik untuk pertahanan tubuh bayi
melawan penyakit. Bila
ibu tidak dapat menyusui anaknya, harus digantikan oleh air susu dari orang
lain atau susu formula khusus. Susu sapi tidak cocok untuk bayi sampai berusia
1 tahun.
Hal hal yang mempengaruhi produksi ASI :
1.
Makanan.
2.
Ketenangan jiwa dan pikiran.
3.
Penggunaan alat kontrasepsi.
4.
Perawatan payudara.
5.
Anatomis payudara.
6.
Faktor fisiologi.
7.
Pola istirahat.
8.
Faktor isapan anak atau frekuensi penyusuan.
9.
Faktor obat-obatan.
10.
Berat lahir bayi.
11.
Umur kehamilan saat melahirkan.
12.
Konsumsi rokok dan alkohol.
Tingkat Laktasi
Komposisi air susu berubah pada tiap
tingkat laktasi. Perubahan yang terbesar terjadi pada saat permulaan dan
terakhir periode laktasi. .[1]
Kolostrum : Sekresi pertama setelah proses kelahiran. Komposisinya sangat
berbeda dengan komposisi susu sapi Fries Holland. Pada kolostrum terkandung : .[1]
Konsentrasi zat padatnya lebih tinggi
Casein, protein whey (terutama globulin), garam mineral
lebih tinggi (Ca, Mg, P, Cl lebih tinggi, Potasium lebih rendah)
Laktosa lebih rendah
Lemak bisa lebih tinggi bisa lebih rendah.
Perbandingan
komposisi kolostrum denga susu Fries Holland dapat dilihat pada table di bawah
ini.[1]
Perbandingan Komposisi Kolostrum dengan Susu FH
Komponen
|
Kolostrum
(%)
|
Kolostrum ke 2 & 3 (%)
|
Susu FH
(%)
|
Total Solid
Protein
Imunne globulin
Laktosa
|
22,3
18,8
13,1
2,5
|
10,5
5,5
1,0
4,0
|
8,6
3,25
0,09
4,6
|
B.
Komposisi
Susu
Komposisi secara normal, rata-rata susu
mengandung lemak 3,9%; protein 3,4%; laktosa 4,8%; abu 0,72%; air 87,10%;
sitrat; vitamin A, B, C dan enzim. Terdapat perbedaan komposisi air
susu manusia dan berbagai jenis Ternak, hal tersebut dapat dilihat pada di bawah ini. Demikian pula meskipun sama sama sapi perah, tetapi jika
dari keturunan yang berbeda, hasil dan komposisi susunya juga berbeda. Hal ini
dapat dilihat pada tabel berikut. .[1]
Komposisi
Rata-rata Zat-zat Makanan dalam Air Susu dari Berbagai Jenis Ternak Mamalia (%)
Jenis
|
Bahan kering
|
Protein
|
Lemak
|
Laktosa
|
Mineral
|
Manusia
Sapi perah
Domba
Kambing
Kerbau
Sapi zebu
|
12.60
12.83
17.00
13.00
21.40
13.30
|
2.00
3.50
3.20.
3.70
5.50
3.40
|
3.50
3.80
3.20
4.00
10.50
4.20
|
6.80
4.90
4.70
4.45
4.50
5.00
|
0.30
0.73
0.90
0.85
0.85
0.80
|
Komposisi susu
bervariasi dan tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
komposisi susu terutama spesies, variasi genetik dalam spesies, kesehatan,
lingkungan, manajemen, stadium laktasi, pakan dan umur.
.[1]
1. Air
Susu mengandung air sebesar 87.90
%. Fungsinya sebagai pelarut bahan kering.
2. Lemak
Besar kecilnya butiran lemak
ditentukan oleh kadar air di dalamnya. Makin banyak air makin besar globuler
(butiran lemak dalam susu) dan keadaan ini dikhawatirkan akan menjadi pecah.
Bila globuler pecah maka susu juga akan pecah. Dan susu yang pecah tidak dapat
dipisahkan lagi oleh krimnya, tidak dapat lagi dijadikan sebagai bahan makanan.
Dan akibatnya, susu akan menyerap bau di sekitar.Kadar lemak dalam susu
sangatlah berarti dalam penentuan nilai gizi susu itu sendiri. Buckle et al.,
(1987) menyatakan kerusakan pada lemak dapat terjadi merupakan sebab dari
perkembangan cita rasa yang menyimpang dalam produk-produk susu, seperti :[2]
a.
Ketengikan,
disebabkan karena hidrolisa dari gliserida dan pelepasan asam lemak seperti
butirat dan kaproat, yang punya bau keras, khas dan tidak menyenangkan.
b.
Tallowness yang
disebabkan karena oksidasi asam lemak tak jenuh.
c.
Flavor
teroksidasi yang disebabkan karena oksidasi fosfolipid.
d.
Amis/bau seperti ikan yang disebabkan karena
oksidasi dan reaksi hidrolisa.
3. Protein
Protein rata-rata dalam susu
sebesar 3.20%, terdiri dari 2.70% casein (bahan keju), dan 0.50% albumen.
Beberapa hari setelah induk sapi melahirkan, kandungan albumin sangat tinggi
pada susu dan akan normal kembali setelah 7 hari.[1]
4. Laktosa
Kadar laktosa dalam susu dapat
dirusak oleh beberapa jenis kuman pembentuk asam susu. Pemberian laktosa pada
susu dapat menyebabkan mencret atau gangguan perut bagi orang yang tidak tahan
terhadap laktosa.[1]
5. Vitamin
dan enzim
Bila susu dipanaskan,
dipasteurisasi atau disterilisasi maka 10-30% vitamin B1 akan hilang, dan vitamin
C akan hilang sebesar 20-60%.[1]
C.
Syarat
Umum Susu Yang Baik
Saat
masih berada di dalam kelenjar susu, susu dinyatakan steril. Namun, apabila
sudah terkena udara, susu sudah tidak bisa dijamin kesterilannya. Adapun syarat
susu yang baik meliputi banyak faktor, seperti warna, rasa, bau, berat jenis,
kekentalan, titik beku, titik didih, dan tingkat keasaman. [3]
·
Warna susu
bergantung pada beberapa faktor seperti jenis ternak dan pakannya. Warna susu normal biasanya berkisar dari
putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putihnya merupakan hasil dispersi
cahaya dari butiran-butiran lemak, protein, dan mineral yang ada di dalam susu.
Lemak dan beta karoten yang larut menciptakan warna kuning, sedangkan apabila
kandungan lemak dalam susu diambil, warna biru akan muncul.
·
Susu terasa
sedikit manis dan asin (gurih) yang disebabkan adanya kandungan gula laktosa
dan garam mineral di dalam susu. Rasa susu sendiri mudah sekali berubah bila
terkena benda-benda tertentu, misalnya makanan ternak penghasil susu, kerja
enzim dalam tubuh ternak, bahkan wadah tempat menampung susu yang dihasilkan
nantinya. Bau susu umumnya sedap, namun juga sangat mudah berubah bila terkena
faktor di atas.
·
Berat jenis air
susu adalah 1,028 kg/L. Penetapan berat jenis susu harus dilakukan 3 jam
setelah susu diperah, sebab berat jenis ini dapat berubah, dipengaruhi oleh
perubahan kondisi lemak susu ataupun karena gas di dalam susu. Viskositas susu
biasanya berkisar antara 1,5 sampai 2 cP, yang dipengaruhi oleh bahan padat
susu, lemak, serta temperatur susu.
·
Titik beku susu
di Indonesia adalah -0,520 °C, sedangkan titik didihnya adalah 100,16 °C. Titik
didih dan titik beku ini akan mengalami perubahan apabila dilakukan pemalsuan
susu dengan penambahan air yang terlalu banyak karena titik didih dan titik
beku air yang berbeda.
·
Susu segar
mempunyai sifat amfoter, artinya dapat berada di antara sifat asam dan sifat
basa. Secara alami pH susu segar berkisar 6,5–6,7. Bila pH susu lebih rendah
dari 6,5, berarti terdapat kolostrum ataupun aktivitas bakteri.
D.
Sifat Khas Susu
Sifat fisik susu terutama dipengaruhi oleh
komposisi susu yang banyak mengandung air. Selain air susu juga mengandung
lemak, protein, mineral, dan laktosa. Sifat susu yang perlu diketahui adalah
bahwa susu merupakan media yang baik sekali bagi pertumbuhan mikrobia sehingga
apabila penanganannya tidak baik akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya
(“zoonosis”). Disamping itu susu sangat mudah sekali menjadi rusak
terutama karena susu merupakan bahan biologic.
Air susu selama didalam ambing atau kelenjar air
susu dinyatakan steril, akan tetapi begitu berhubungan dengan udara air susu
tersebut patut dicurigai sebagai sumber penyakit bagi ternak dan manusia. Sifat
fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku,
panas jenis dan kekentalannya. Sedangkan sifat kimia susu yang dimaksud adalah
pH dan keasamannya.
Sifat Fisik Susu :
1.
Warna air susu
Warna air susu dapat
berubah dari satu warna kewarna yang lain, tergantung dari bangsa ternak, jenis
pakan, jumlah lemak, bahan padat dan bahan pembentuk warna. Warna air susu
berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna
putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula
lemak dan partikel koloidal dari casein dan calsium phosphat. Warna kuning susu
karena substansi karoten yang berasal dari tanaman hijau sebagai pakannya. Bila
lemak diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan. [4]
Air susu yang baik adalah berwarna putih atau kekuningan, hal
ini karena pengaruh adanya hamburan dan absorbsi cahaya oleh globula-globula
lemak dan micell-micell protein. Air susu yang berwarna
kemerah-merahan diduga berasal dari susu sapi yang menderita mastitis. Susu
yang berwarna kebiruan menunjukkan air susu telah dicampur dengan air yang
terlampau banyak, sedangkan air susu yang berlendir dan menggumpal menunjukkan
bahwa air susu tersebut telah rusak.
2. Rasa dan bau air susu
Susu yang baik memiliki
rasa yang sedikit manis,rasa manis ini berasal dari laktosa. Sedangkan rasa asin
berasal dari garam-garam mineral flourida dan sitrat. Bau susu yang normal
seperti bau sapi. Sedangkan bau yang menyimpang dari susu normal dapat berasal
dari : [4]
a.
Penyebab
fisiologis : bau dari badan sapi yang dipindahkan ke dalam susu, cita rasa pakan
sapi misalnya alfalfa, bawang merah, bawang putih, dan cita rasa algae yang
akan masuk ke dalam susu jika bahan-bahan itu mencemari pakan dan air minum sapi.
b.
Penyebab
enzimatis : menghasilkan bau tengik karena enzim lipase pada lemak susu.
c.
Penyebab bakteri
: terjadinya fermentasi lactosa menjadi asam laktat dan hasil-hasil metabolisme
yang berasal dan bersifat volatile.
Sebab lainnya adalah dari bakteri yang timbul sebagai akibat pencemaran
dan pertumbuhan bakteri yang menyebabkan peragian laktosa menjadi asam laktat dan hasil samping
metabolik lainnya yang mudah
menguap.
d.
Penyebab kimia : karena oksidasi lemak susu.
e. Penyebab
mekanis : karena absorbsi bau-bauan yang berasal dari lingkungan seperti sabun,
cat, larutan clorida.(bila susu mungkin menyerap cita rasa cat yang ada
disekitarnya.)
Bau air susu mudah berubah dari bau
yang sedap menjadi bau yang tidak sedap. Bau ini dipengaruhi oleh sifat lemak
air susu yang mudah menyerap bau disekitarnya. Demikian juga bahan pakan ternak
sapi dapat merubah bau air susu.
3.
Berat jenis air susu
Air susu mempunyai berat jenis yang lebih besar
daripada air. BJ air susu adalah
1.027-1.035 dengan rata-rata 1.031. Akan tetapi menurut codex susu, BJ air susu
adalah 1.028. Codex susu adalah suatu daftar satuan yang harus dipenuhi air
susu sebagai bahan makanan. Daftar ini telah disepakati para ahli gizi dan
kesehatan sedunia, walaupun disetiap negara atau daerah mempunyai
ketentuan-ketentuan tersendiri. Berat jenis harus ditetapkan 3 jam setelah air
susu diperah. Penetapan lebih awal akan menunjukkan hasil BJ yang lebih kecil.
Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi lemak dan adanya gas yang timbul di dalam air
susu.
[4]
4.
Kekentalan air susu (viskositas)
Seperti BJ maka
viskositas air susu lebih tinggi daripada air. Viskositas air susu biasanya
berkisar 1,5 – 2,0 cP. Pada suhu 20°C viskositas whey 1,2 cP, viskositas susu
skim 1,5 cP dan susu segar 2,0 cP. Bahan padat dan lemak air susu mempengaruhi
viskositas. Temperatur ikut juga menentukan viskositas air susu. Sifat ini
sangat menguntungkan dalam pembuatan mentega. [4]
5. Titik beku dan titik
cair dari air susu
Pada codex air susu
dicantumkan bahwa titik beku air susu adalah –0.500°C. Akan tetapi untuk
Indonesia telah berubah menjadi –0.520°C. Titik beku air adalah 0°C. Apabila
terdapat pemalsuan air susu dengan penambahan air, maka dengan mudah dapat
dilakukan pengujian dengan uji penentuan titik beku. Karena campuran air susu
dengan air akan memperlihatkan titik beku yang lebih besar dari air dan lebih
kecil dari air susu. Titik didih air adalah 100°C dan air susu 100.16°C. Titik
didih juga akan mengalami perubahan pada pemalsuan air susu dengan air.[3]
6. Daya cerna air susu
Air susu mengandung
bahan/zat makanan yang secara totalitas dapat dicerna, diserap dan dimanfaatkan
tubuh dengan sempurna atau 100%. Oleh karena itu air susu dinyatakan sangat
baik sebagai bahan makanan. Tidak ada lagi bahan makanan baik dari hewani
terlebih-lebih nabati yang sama daya cernanya dengan air susu.[1]
7. Sifat Pembentukan Krem
Bila susu dibiarkan dalam gelas beberapa waktu,
terlihat selapis krem di permukaan susu karena butir-butir lemak mengapung di
atas. Susu permulaan masa laktasi mengandung butir-butir lemak yang besar
sehingga lebih cepat mengapung dari pada susu akhir masa laktasi yang
mengandung butir-butir lemak lebih kecil. Kecepatan mengapung krem diatas
permukaan dipengaruhi oleh
tiga factor yaitu jumlah lemak, ukuran atau diameter butir-butir lemak dan suhu atau pemanasan. Susu segar yang didinginkan pada suhu 4○C akan memberikan lapisan krem yang
maksimal dan paling jelas. Homogenisasi akan merusak sifat-sifat pembentukan
krem. Sedangkan susu yang dipasteurisasi pada temperature 71,7○C akan memperlihatkan kehilangan
sifst-sifat pembentukan krem sama sekali. [4]
Sifat Kimia Susu :
1. Keasaman dan pH Susu
Kertas lakmus biru akan
berubah menjadi merah jika dicelupkan dalam susu segar, namun jika lakmus merah
yang dicelupkan, lakmus juga akan berubah menjadi biru. hal tersebut
disebut sifat ampoter, artinya
dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Potensial ion hydrogen (pH) susu segar
terletak antara 6.5 – 6.7. Jika dititrasi dengan alkali dan kataliasator
penolptalin, total asam dalam susu diketahui hanya 0.10 – 0.26 % saja. Sebagian
besar asam yang ada dalam susu adalah asam laktat. Meskipun demikian keasaman
susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti
senyawa-senyawa pospat komplek, asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida
yang larut dalam susu. Bila nilai pH air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya
diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum
ataupun pemburukan bakteri, oleh karena itu air susu segar memiliki kisaran pH
6,6-6,7, nilai pH ini banyak dipengaruhi oleh kandungan fosfat, sitrat dan
protein yang ada dalam susu.[2]
E. Hasil Olahan Susu
1.
Susu
Pasteurisasi
Susu
yang dipanaskan untuk mencegah kerusakan karena mikroorganisme dan enzim. Ada 2
cara pasreurisasi, yaitu pasteurisasi lama/Low Temperature Long Time (susu
dipanaskan pada suhu 65-70% selama 30 menit, tahan disimpan 3-6 hari pada suhu
pendigin) dan pasteurisasi sekejap/High Temperarure Short Time (susu dipanaskan
pada suhu 8-95○C
selama 15-16 detik).
2.
Susu
Homogenisasi
Susu
homogen adalah susu yang telah diproses untuk memecah butiran lemak, sehingga
setelah 48 jampenyimpanan pada suhu 10-15○C tidak terjadi pemisahan krim pada susu.[5]
3.
Susu Steril
Susu
steril adalah susu yang dihomogenasi sampai lebih dari titik didih (110○C) dalam waktu singkat.[5]
4.
Susu Kental
Manis
Susu
yang diperoleh dari peternakan distandarisasi dengan ditambahkan krim maupun
susu skim, sehingga perbandingan tetap dari lemak : benda padat bukan lemak
menjadi 9 : 22. Susu kemudian dihangatkan, ditambahkan gula sehingga diperoleh
konsentrasi gula 62,5% sebagai sukrosa dalam produk akhir. Selanjutnya adalah
proses penguapan susu yang sudah mengandung gula dengan menggunakan penguap
hampa pada suhu mencapai 77○C.
Pada suhu 49○C fase
cair dari produk yang dikentalkan menjadi jenuh dengan laktosa, dan pada waktu
didinginkan terjadi larutan jenuh dan kristalisasi. Setelah proses kristalisasi
selesai, susu kental didinginkan,
kemudian dimasukkan ke dalam drum-drum penyimpanan untuk diisikan ke dalam
kaleng.
5.
Susu Evaporasi
Susu
evaporasi atau susu kental tawar mengandung solid 2,25 kali dari susu segar.
Cara pembuatannya hampir sama dengan susu kental manis, hanya saja tidak
ditambahkan gula.
6.
Yoghurt
Yoghurt adalah produk susu yang dibuat dengan cara
fermentasi. Susu yang akan difermentasi dipanaskan sampai 90○C
selama 15-30 menit,kemudian didinginkan sampai 43○C. Setelah itu ditambahkan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophillus, diinkubasi kira-kira 3 jam sampai tercapai pH 4,0-4,5.
Produk didinginkan sampai 5○C
dan siap dikemas.[5]
7.
Kefir
Kefir
merupakan produk olahan susu yang hampir mirip dengan yoghurt, tetapi proses
fermentasinya menggunakan bakteri Streptococcus
lactis, Lactobacillus bulgaricus, dan ditambah khamir (ragi) untuk
memfermentasi laktosa.
8.
Keju
Keju
dibuat dari dadih susu yang dipisahkan, diperoleh dengan penggumpalan bagian
casein/endapan protein dari susu dan susu skim. Penggumpalan terjadi dengan
adanya rennet atau dengan meningkatkan keasaman susu melalui fermentasi asam
laktat.[5] Sebagian besar keju diproduksi dengan menggunakan rennet
yang berasal dari binatang. Pada akhir 1980an rennet dari jamur dan bakteri
mulai dikembangkan karena adanya kelangkaan rennet yang berasal dari binatang.
Selain itu, ada beberapa tanaman alternatif yang memiliki enzim untuk
mengentalkan susu, diantaranya kulit pohon ara, mallow, dan thistle.
Berbagai
macam variasi keju
merupakan hasil dari penggunaan susu dan bakteri yang berbeda serta lamanya proses pematangan yang
tidak sama.[6] Dua cara umum untuk mengklasifikasi keju didasarkan
pada tekstur dan cara pematangannya.[5] Berdasarkan teksturnya ada 4
jenis, yaitu:
a.
Keju lunak
Kadar air keju lunak lebih dari 40%.
[5] Karena kadar airnya banyak, maka kadar lemak keju lunak lebih
rendah dibanding keju lain yang lebih keras.[6]
b.
Keju semi lunak/keras
Kadar air pada keju jenis ini
berkisar antara 36-40%.[6]
Sebagian besar keju ini diproduksi dengan krim rendah kalori.[6]
Lama pematangan pada keju-keju tipe ini berbeda-beda. Contoh keju semi keras
adalah Roquefort,
Tetilla,
dan Weisslacker.[6]
c.
Keju keras
Keju keras memiliki kadar air
25-36%, matang lebih cepat dan lebih mudah diiris dari pada keju sangat keras.
d.
Keju sangat keras
Kadar airnya kurang dari 25%.[5]
Keju keras umumnya menjadi matang dalam tiga bulan, namun proses pematangan
dapat berlangsung hingga satu tahun dan membuat keju kehilangan lebih banyak
air dan menjadi lebih keras.[6]
Berdasarkan
proses pematangan, keju dapat dibagi menjadi lima kelompok :
a.
Bakteri yang dimatangkan dari dalam
Contoh
keju dari kelompok ini adalah Cheddar, keju Gouda, dan Parmesan.[7]
Keju-keju dalam kategori ini menjadi lebih keras ketika matang. Kematangannya
akan terjadi seragam di seluruh bagian luar keju.[7]
b.
Keju yang dicuci kulitnya
Contoh
keju dari kelompok ini adalah Limburger dan Liederkranz.[7]
Keju-keju ini secara periodik dicuci bagian permukaannya dengan air asin pada tahap
pertama pematangan. Keju tipe ini memiliki kulit yang berwarna oranye atau
kemerah-merahan.[7]
Biasanya, keju ini akan menjadi lebih lunak ketika matang dan memiliki aroma
yang tajam.[7]
c.
Keju bercoreng biru
Contoh
keju dari kelompok ini adalah Roquefort dan Stilton.[7]
Keju-keju ini mengandung biakan kapang atau jamur yang menyebar ke seluruh bagian dalam keju.[7]
d.
Keju berlapis kapang
Contoh
keju dari kelompok ini adalah Brie, Camembert, dan St. Andre.[7]
Keju-keju jenis ini memiliki lapisan kulit yang berbulu akibat kapang.[7]
Lapisan tersebut berwarna putih ketika keju masih muda tetapi dapat menjadi
lebih gelap atau coreng-coreng ketika keju mengalami proses pematangan.[7]
e.
Keju tidak dimatangkan
Contoh
keju dari kelompok ini adalah cottage cheese, keju krim, dan baker's
cheese.[7]
Keju jenis ini tidak mengalami proses pematangan.[7]
9.
Mentega
Mentega terbuat dari lemak susu yang
didalamnya ditambahkan garam untuk mendapat rasa yang lebih baik dan untuk
menjaga mutu.[5] Kandungan gizi mentega tergantung pada kandungan
lemak dan vitamin-vitamin yang larut lemak. Mentega tidak mengandung laktosa
dan mineral, serta berprotein rendah. [5]
Mutu
mentega dipengaruhi mutu krim yang digunakan dan penanganan lanjut pada produk
akhir. Mikroorganisme juga berperan dalam mempengaruhi mutu mentega. Krim yang
telah mengalami kerusakan oleh bakteri akan mempunyai rasa kurang enak yang
mempengaruhi rasa mentega.[5]
10.
Tahu susu/Dali
Tahu susu merupakan produk yang
dibuat dengan mencampurkan susu dengan air perasan ekstrak pepaya (papain)
0,2/liter susu, dipanaskan/dikukus 30-40 menit dengan api sedang sampai
menggumpal.
11.
Susu Bubuk
Kandungan
total padatan padatan susu bubuk 97% dengan spray drier. Susu bubuk ada 2
macam, whole milk (protein 24,6%) dan skim milk (35,6%).
12.
Dodol Susu
Dodol
susu dibuat dengan cara merebus air susu hingga mendidih, kemudian ditambahkan
gula dan dididihkan lagi selama 2,5 jam sambil diaduk. Setelah mengental ditambahkan
tepung terigu sedikit demi sedikit sambil diaduk, didiamkan,kemudian
dipotong-potong.
13.
Kerupuk Susu
Kerupuk susu dibuat dengan cara
merebus susu kemudian ditambahkan bumbu dan tepung kanji hingga menjadi adonan
yang tidak lengket. Adonan tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih,
didinginkan, diiris, dijemur kemudian digoreng.
F.
Manfaat Susu
Manfaat dari susu antara lain :
1.
Susu mengandung
Potassium, yang dapat menggerakkan dinding pembuluh darah pada saat tekanan
darah tinggi untuk menjaganya agar tetap stabil, mengurangi bahaya akibat apopleksi, juga dapat mencegah
penyakit darah tinggi dan jantung.
2.
Dapat
menetralisir racun seperti logam, timah dan cadmium dari bahan makanan lain yang diserap oleh tubuh.
3. ASI (Air
Susu Ibu) dan kandungan lemak di dalamnya dapat memperkuat daya tahan fungsi syaraf, mencegah pertumbuhan
tumor pada sel tubuh.
4. Kandungan tyrosine dalam susu dapat mendorong hormon
kegembiraan—unsur serum dalam darah tumbuh dalam skala besar.
5. Kandungan yodium, seng dan leticin dapat meningkatkan
secara drastis keefisiensian kerja otak besar.
6. Zat besi, tembaga dan vitamin A dalam susu mempunyai
fungsi terhadap kecantikan, yaitu
dapat mempertahankan kulit agar tetap bersinar.
7. Kalsium susu dapat menambah kekuatan tulang, mencegah
tulang menuyusut dan
patah
tulang.
8. Susu menyediakan hampir dua-pertiga kebutuhan vitamin
D dalam makanan.
9. Kandungan magnesium dalam susu dapat membuat jantung
dan sistem syaraf tahan terhadap
kelelahan
10. Kandungan Seng pada susu sapi dapat menyembuhkan luka
dengan cepat.
11. Kandungan vitamin B2 di dalam susu sapi dapat
meningkatkan ketajaman penglihatan.
12. Terdapat macam-macam asam amino yang penting untuk
pertumbuhan tubuh.
13. Mencegah
osteoporosis dan menjaga tulang tetap kuat. Bagi anak-anak, susu berfungsi
untuk pertumbuhan tulang yang membuat anak menjadi bertambah tinggi.
14. Menurunkan
tekanan darah.
15. Mencegah
kerusakan gigi dan menjaga kesehatan mulut. Susu mampu mengurangi keasaman mulut, merangsang air liur,
mengurangi plak dan mencegah gigi berlubang.
16. Mencegah
terjadinya kanker kolon atau kanker usus
17. Mencegah
diabetes tipe 2.
18. Membantu
agar lebih cepat tidur. Hal ini karena kandungan susu akan merangsang hormon melatonin yang akan membuat tubuh
mengantuk.
G. Mutu Susu
Susu
adalah minuman yang sangat menyehatkan bagi tubuh karena memiliki kandungan
gizi yang terhitung lengkap,
menjadikan
susu sebagai salah satu bahan makanan yang istimewa terlebih dari sisi
kelezatannya. Susu mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh maka dari
itu susu dianggap salah satu bahan makanan yang penting untuk dimiliki. Susu
segar merupakan cairan yang berasal dari kambing atau sapi atau hewan perah
lainnya yang sehat dan bersih dan diperoleh dengan cara pemerahan yang benar
dan kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum
mendapat perlakuan apapun (SNI 01-3141-1998).[8] Untuk menghasilkan
susu yang segar, maka ternak harus diberi pakan yang harus diatur mutunya,
mengandung zat-zat gizi memadai,bebas dari antibiotic dan bahan-bahan toksik
lainnya. [8] Dengan demikian hewan perah (sapi) akan menghasilkan
susu dengan komposisi gizi yang baik. Mutu susu segarpun juga harus didukung oleh cara pemerahan
yang benar, termasuk didalamnya pencegahan kontaminasi fisik dan mikrobiologis
dengan sanitasi alat pemerah dan sanitasi pekerja yang mengambil susu dari
ambing hewan ternak, baik sapi maupun kambing ataupun juga hewan perah lainnya.
Dengan kemajuan zaman susu tidak hanya diolah melalui
perahan saja, kini dengan adanya teknologi pengolahan/pengawetan bahan makanan
mampu menjadikan usia susu lebih tahan lama.[10] Selain itu, dapat
pula menjadikan susu beraroma enak sehingga disukai banyak orang (semua
kalangan).
Umumnya susu yang dikonsumsi oleh
masyarakat adalah susu olahan, baik bentuk kerusakan protein. Kerusakan protein
pada pengolahan susu dapat berupa terbentuknya pigmen coklat (melanoidin)
akibat dari Reaksi Mallard. Reaksi Mallard adalah reaksi pencoklatan non
enzimetik yang terjadi antara gula dan protein susu akibat proses pemanasan
yang berlangsung dalam waktu cukup lama seperti pada pembuatan susu bubuk.
Adanya reaksi ini mengakibatkan menurunnya daya cerna protein.[8]Proses
pemanasan susu pada suhu tinggi dalam waktu yang cukup lama juga dapat
mengakibatkan terjadinya raseminasi asam-asam amino yaitu perubahan konfigurasi
asam amino dari bentuk L ke bentuk D. [8] Adanya raseminasi ini sangat
merugikan bagi tubuh. [8]
Reaksi
pencoklatan (Mallard) dan raseminasi asam amino berdampak pada menurunnya lisin
pada produk olahan susu.[8] Itu berarti, mutu dari susu yang
dihasilkan ( olahan ) juga ikut menurun. Maka dari itu dalam pengolahan
haruslah diperhatikan hal – hal yang seharusnya dilakukan dengan benar.
Apabila pengolahan susu tidak dijalankan
secara benar atau sempurna, maka dikhawatirkan susu akan terkontaminasi.
Terlebih bila alat penyimpan air susu (milk can) tidak dibebashamakan
terlebihdahulu. Kontaminasi air susu dapat terjadi karena beberapa hal seperti
berikut ini:
1. Cara
pemerahan yang tidak hygienis, antara lain :[1]
a. Tidak
menggunakan kandang perah yang bersih, sehingga berbau
b. Tidak
menggunakan alat perah yang bebas hama, seperti milk can
c. Ternak
tidak dibersihkan dari kotoran, terutama bagian yang berdekatan dengan anus dan ambing
d. Tangan
pemerah tidak dibersihkan terlebih dahulu
e. Cara
memerah yang salah dan
f. Sapi
dan pemerah sakit
2. Penyimpanan
air susu pada can yang berkaitan dengan bau ruangan, keadan debu, temperatur dan kelembaban ruangan
3. Pengolahan
air susu
4.Transportasi
air susu
Air susu
yang segar hanya mampu bertahan dalam waktu kurang dari 24 jam saja, maka
alangkah baiknya apabila air susu yang berlebih diolah melalui pengolahan yang
tepat agar tidak mubazir. Lewat dari batas waktu tersebut, maka susu yang
semula segar akan menjadi basi, dan itu artinya terbuang percuma. Air susu juga
merupakan media dari penyebaran penyakit zoonosis, yaitu yaitu penyakit
primer manusia dan penyakit primer hewan yang penyebarannya dapat timbale
balik. Oleh karena itu, pemeriksaan kualitas air susu sebelum dimanfaatkan atau
sebelum pengolahan sangatlah penting.
Susu segar yang baru diperas dari
ambing sapi mudah mengalami perubahan kualitas apabila tidak diberikan
perlakuan yang benar, namun susu akan bertahan lama jika segera ditangani
secara benar dan higienis sejak dari pemerahan.[9] Susu dapat
dikatakan steril jika selama berada di dalam ambing atau kelenjar air susu,
namun apabila sudah berhubungan dengan udara, susu dapat dengan mudah
terkontaminasi dan itu menyebabkan sumber penyakit bagi ternak dan manusia yang
mengkonsumsi susu tersebut. Dan hal ini menyebabkan gangguan kesehatan,
keracunan bahkan hingga menyebabkan kematian. Susu sapi yang sudah rusak
artinya kualitasnya menurun. Hal itu dapat disebabkan dari suhu penyimpanan,
perubahan warna maupun bau hingga mengakibatkan tumbuhnya mikroba yang
merugikan.[9] Jika demikian, susu yang seharusnya memberikan manfaat
bagi tubuh justru berdampak negatif bagi kesehatan tubuh.
Sesuai
standar SNI, susu segar organoleptiknya tidak berubah, warna putih kekuningan,
bau dan rasanya khas susu segar, dan
cemaran mikroba ditetapkan dibawah maksimal 1 X 106 CFU/ml.[9]
Biasanya susu segar akan menurun kualitasnya setelah 3 jam tidak didinginkan,
sehingga mikroba akan lebih cepat berkembang dan menyebabkan kualitas susu
berkurang atau menjadi tidak bagus. [9] Susu segar menjadi tidak
berkualitas jika disimpan pada suhu yang relative tinggi (20-30°C). [9]Susu
yang disimpan pada suhu 4°C mampu bertahan hingga 100 jam, pada suhu 10°C tahan
89 jam, pada suhu 15°C tahan 35 jam. Pada suhu 20°C susu akan mampu bertahan 19
jam, dan pada suhu 30°C susu hanya mampu bertahan selama 11 jam. [9]
Demikian juga jumlah mikroorganisme akan berubah setelah waktu 24 jam. [9]
Kualitas susu yang dihasilkan sebenarnya tidak terlepas dari perlakuan, dimulai
kebersihan ternak, peternak, dan pengumpul susu. [9] Serta tak lupa
alat yang digunakan, proses penampungan susu dan penanganan rantai dingin susu.[9]
Kualitas susu dapat dilihat dari sifat fisik maupun
kimia nya. Maka dapat disimpulkan, susu yang baik apabila jumlah bakteri yang
ada sedikit, tidak mengandung spora mikroba pathogen, bersih yaitu tidak
mengandung debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa yang baik, dan tidak
dipalsukan. Kualitas susu sapi susunya ketika umrnya 3 atau 4 tahun. Pemerahan
menggunakan tangan ataupun menggunakan mesin tidak memperlihatkan perbedaan
dalam produksi susu, kualitas ataupun komposisi susu. Hubungan antara umur dan jumlah pemerahan dapat dihat dalam tabel
berikut :[1]
UMUR
SAPI
|
PEMERAHAN
|
|
3
x SEHARI
|
4 X SEHARI
|
|
2 tahun
|
20
% >
|
35 % >
|
3 tahun
|
17
% >
|
30 % >
|
4 tahun
|
15
% >
|
26 % >
|
PERSYARATAN
KUALITAS SUSU YANG BAIK
Bila kita akan mengolah susu segar menjadi sesuatu
produk olahan merupakan hal yang penting untuk menggunakan susu yang
berkualitas baik. [1] Persyaratan kualitas susu untuk pengolahan ini
mencakup persyaratan Fisika-kimia (chemico-physical-requirement) dan
Bakteri (bacteriological requirement).[1] Biasanya susu harus
mempunyai kualitas bakteri yang baik Pertumbuhan bakteri yang cepat pada susu
segar menyebabkan bau yang tidak enak. Susu dapat terkontaminasi dari dalam
maupun dari luar ambing. Kontaminasi dari dalam ambing berasal dari penyakit
(TBC, brucellosis, mastitis), sedangkan kontaminasi dari luar berasal dari
puting, udara, peminum susu, lalat dan alat pemerahan susu. [1] Hal
yang penting lainnya adalah susu harus bebas dari residu antibiotik, pestisida,
dan serta susu yang berasal dari sapi yang mendapatkan perlakuan obat-obatan
tidak boleh digunakan. [1] Yang harus dijaga adalah bahwa susu tidak
terkontaminasi oleh residu pembersih (detergen). [1] Susunan
dan kekentalan merupakan hal yang penting diperhatikan bahwa susu tidak
dipalsukan. [1] Berdasarkan jumlah bakteri yang terdapat dalam susu,
kualitas susu di negara-negara barat dan maju lainnya digolongkan menjadi tiga
macam, yaitu : [1]
A.
Susu dengan kualitas baik atau kualitas
A (No. 1.) jika jumlah bakteri yang terdapat dalam susu segar tidak lebih dari
100.000 setiap milliliter. Bakteri-bakteri koli tidak lebih dari 10 /ml.
B. Susu kualitas B (No. 2, sedang) jika jumlah
bakteri nya antara 100.000 – 1.000.000/ml, dan jumlah bakteri koli tidak lebih
dari 10/ml.
C. Susu dengan kualitas C (No. 3, jelek) jika
jumlah bakterinya lebih daripada 1.000.000/ml.
Macam-macam bakteri yang hidup di susu :[11]
1. Fam. Micrococcaceae
-susu yang kurang terjaga kebersihannya
-menyebabkan asamnya susu
-susu yang kurang terjaga kebersihannya
-menyebabkan asamnya susu
2. Fam. Enterobacteriaceae
-Escherchia
coli & Aerobacter aerogenes
-Dapat
mengadakan fermentasi laktosa menghasilkan karbondioksida, hidrogen, asam
organik.
Ini mengganggu mutu air susu.
3. Saprobakteri
-Genus
Proteus, Bacillus, Clostridium,Sarcina
-Dapat
menguraikan protein sehingga mengakibatkan busuknya air susu
4. Alcaligenes
viscolactis
-Menyebabkan
air susu berlendir
5. Pseudomonas syncyanea
-Menyebabkan air susu berwarna biru
-Berbiak cepat setelah air susu mulai asam
-Menyebabkan air susu berwarna biru
-Berbiak cepat setelah air susu mulai asam
6. Serratia marcesceus
-Menyebabkan
air susu berwarna merah
PEMERIKSAAN
KUALITAS SUSU
Pemeriksaan air susu dapat dilakukan secara fisik,
kimia dan biologis. [1] Pemeriksaan secara fisik dapat dilakukan
dengan memeriksa warna, rasa dan aroma air susu dengan indera kita, sedangkan
pemeriksaan kualitas air susu secara kimia dilakukan dengan menggunakan zat
kimia atau reaksi kimia tertentu. [1] Pemeriksaan kualitas air susu
secara biologis dapat dilakukan dengan mikroskopis, bakteriologis dan biokemis.
Pemeriksaan kualitas air susu di Indonesia dilakukan
tidak hanya terhadap air susu, tetapi juga terhadap perusahaan-perusahaan
peternakan sapi perah, jadi tempat-tempat produk susu. Pengawasan perusahaan
tersebut dibagi dalam pengawasan mengenai peralatan perusahaan (ember, milk
can, kandang, dan sapi-sapi) serta pengawasan terhadap pemeliharaannya.
[1]
Pada pemeriksaan airs
susu harus diperhatikan dua hal yaitu: [1]
1. Keadaan air susu
2. Susunan air susu
Keadaan air susu dikatakan
menyingkir, bila air susu kotor, mengandung kuman-kuman yang tidak ditemukan
didalam air susu normal, air susu mulai busuk. [1] Susunan air susu
dikatakan menyingkir, bila air susu dicampur dengan bahan-bahan yang biasanya
tidak ditemukan pada air susu yang normal atau bila air susu tidak memenuhi
syarat-syarat minimal. [1]
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas air susu : [1]
1.
Keadaan kandang :
Untuk
menjaga flavour (rasa dan bau), karena air susu mudah sekali menyerap bau. Letak
kandang harus bebas dari kandang babi, ayam dan ternak lainnya. Hal ini maksudnya yang baik harus memenuhi
syarat-syarat :
1. Konstruksi kandang
yang baik adalah dari papan atau beton.
2. Ventilasi kandang
harus baik, agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik
3. Harus ada tempat
penimbunan kotoran dan terletak jauh dari kandang.
2.
Keadaan kamar susu :
Kamar susu berfungsi
untuk menyimpan air susu sementara sebelum dibawa ke pusat pengumpulan susu (milk
colecting centre) atau ke konsumen. Sebaiknya kamar susu terhindar dari bau
kandang yang tidak enak, dan ukuran kamar susu tidak perlu terlalu luas tetapi
bersih.
3.
Kesehatan sapi :
Kesehatan sapi harus
selalu dijaga. Penyakit yang bisa ditulari sapi kepada manusia dan sebaliknya (zoonosis)
melalui air susu adalah penyakit TBC, Anthrax, dan Brucellosis. Tanda-tanda
sapi yang terserang penyakit anthrax antara lain adalah keluarnya darah dari
hidung dan feses, sedangkan penyakit anthrax pada manusia menyebabkan
bisul-bisul pada tubuh. Penyakit Brucellosis pada sapi dapat menyebabkan
abortus (keguguran) pada sapi.
4.
Kesehatan pemeliharaan sapi :
Kesehatan pemeliharaan
sapi dapat mempengaruhi kualitas air susu sapi. Bila pekerja/pemelihara sapi
menderita TBC atau typus, maka penyakit tersebut akan menular melalui air susu
kepada konsumen air susu lainnya.
5.
Cara pemberian pakan sapi :
Pemberian pakan sapi
sebaiknya dilakukan tidak pada waktu pemerahan susu, karena aroma dari pakan
ternak dapat diserap oleh air susu.
6.
Persiapan sapi yang akan diperah :
Sebelum sapi diperah,
sebaiknya disekitar lipat paha sapi dibersihkan. Ambingnya dilap dengan kain
yang dibasah basahi air panas. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kontaminasi
dan menstimulir memancarnya air susu sapi.
7.
Persiapan pemerah :
Sebelum memerah air
susu, tangan pemerah harus dicuci bersih, begitu pula alat-alat yang digunakan
pemerah pada saat memerah air susu. Jumlah kuman yang dapat terkoreksi adalah
150 – 200 ribu/ml air susu.
8.
Bentuk dari ember :
Ember yang digunakan
pada waktu pemerahan adalah ember khusus, dimana ember tersebut agak tertutup,
hanya diberi lubang sedikit.
9.
Pemindahan air susu dari kandang :
Setelah memerah, air
susu dibawa ke kamar susu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari agar air susu
tersebut tidak berbau sapi ataupun kotoran.
10.
Penyaringan air susu :
Untuk menghilangkan kotoran-kotoran
dari air susu, sebaiknya air susu disaring dengan menggunakan saringan yang
memakai filter kapas atau kain biasa yang dicuci dan direbus setiap kali habis
dipakai.
11.
Cara pendinginan air susu :
Sebaiknya setelah
diperah, air susu langsung didinginkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat
menghambat dan mengurangi perkembangan kuman. Air susu sebaiknya didinginkan
maximum 70○C dan minimum 40○C.
12.
Cara pencucian alat-alat :
Untuk memperoleh
alat-alat yang bersih, cucilah alat-alat dengan air dingin atau hangat supaya
sisa-sisa susu hilang. Kemudian cuci dengan air sabun yang hangat, disikat dan
dibilas. Alat-alat tersebut kemudian direndam dengan air mendidih selama 2 – 3
menit atau diuapkan selama 30 detik.
13.
Pengawasan terhadap lalat :
Pengawasan terhadap
lalat perlu sekali dilakukan. Hal ini dimaksud selain untuk mengurangi jumlah
kuman, juga untuk menjaga agar sapi tidak gelisah. Bila pengawasan terhadap
lalat dilaksanakan sebaik mungkin, setidak-tidaknya jumlah kuman akan dapat
ditekan.
Pengambilan
Contoh Susu :
Untuk pemeriksaan kualitas air susu
bagi perusahaan peternakan atau peternak kecil diperlukan pengambilan contoh
susu yang akan diperiksa kualitasnya. [1] Pengambilan contoh
dilakukan dengan menahan loper susu dan mengambil satu botol susu botol (isinya
250 – 500 cc) air susu. Kemudian pada tiap botol contoh tadi diberi tanda yang
memuat : [1]
1. Tanggal, jam dan
tempat pengambilan contoh.
2. Nama pemilik
perusahaan dan nam pengambil contoh.
3. Keterangan lain yang
dianggap penting.
Bila contoh susu diambil dari melk
bus, maka hendaknya isi dari melk bus diaduk terlebih dahulu supaya
kita mendapat contoh yang homogen. [1]
Sekali-kali pemeriksaan laboratorium
tidak memberikan ketentuan-ketentuan mengenai susunan atau keadaan air susu,
mencegah susu tersebut pecah. [1] Susu yang telah diawetkan dengan
cara ini dapat dianalisa mengenai kandungan zatnya : lemak, protein, laktose
dan K2CrO7 atau bahan pengawet lainnya sekurang-kurangnya 0.5 gr zat aktif yang
terkandung dalam satu tablet untuk 220.8 ml susu. [1]
Tidak menutup kemungkinan adanya
pemalsuan dalam susu yang dihasilkan, karena dalam pemalsuan tidak
memperlihatkan adanya penyingkiran susunan. Hal-hal yang dapat dijadikan
perhatian sebagai berikut : [1]
1. Tiap-tiap
air susu yang B.J-nya rendah harus diawasi misalnya lebih rendah dari 1,0280, walaupun tidak semuanya
dipalsukan dengan penambahan air.
2. Bila
disamping itu didapatkan kadar lemak rendah, maka kemungkinan pemalsuan lebih besar.
3. Dalam hal
itu kadar (%)lemak dalam bahan kering dapat dihitung. Bila kadar lemak dalam bahan kering lebih rendah dari 2.5%,
maka air susu harus dikatakan abnormal.
4. Pemalsuan
dengan air dapat dibuktikan selanjutnya, bila titik beku atau angka refraksi air
susu diperiksa. Air susu di Indonesia mempunyai titik beku normal diantara 0°C dan – 0,520°C, sedangkan angka refraksi minimal harus 34 (Melk
Codex). Perubahan- perubahan air susu dapat pula terjadi
karena perubahan makanan yang diberikan.
5. Bila B.J
air susu normal, akan tetapi kadar lemaknya rendah, maka biasanya hal ini disebabkan oleh pengambilan kepala susu
(krim), juga kadar (%) lemak di dalam bahan kering
sangat rendah. Dalam hal ini penetapan titik beku air susu sangat penting.
H.
Penyimpanan Susu
Susu
merupakan bahan makanan dengan protein tinggi, kaya nutrisi dan tanpa kandungan zat anti bakteri. [12] Susu akan menjadi sasaran yang cukup
empuk bagi para bakteri untuk berkembang biak di sana, oleh karena itu kita harus benar-benar
memperhatikan cara menyimpan
dan menangani susu. [12]
Berbagai
masalah kesehatan hingga kematian bisa terjadi hanya karena susu tanpa disadari
telah membusuk. [12] Ini juga berlaku pada produk-produk makanan
yang terbuat dari bahan susu, seperti keju, es krim, susu kental manis, susu
bubuk, yoghurt dan sebagainya. Agar susu tetap aman dan bisa digunakan dalam
jangka waktu yang agak lama, sebaiknya
diperhatikan kondisi penyimpanannya. [12]
1. Cara Menyimpan Susu dan Dadih Susu[12]
Susu atau dadih susu disimpan di suhu 1 hingga 4oC di
dalam kulkas. Umumnya kulkas memiliki suhu 4oC, namun ini juga
tergantung dari kerapatan dan kondisi kulkas. Untuk memastikan susu tersimpan
di suhu yang memadai, tempatkan susu di tengah-tengah kulkas. Susu jangan diletakkan di bagian
pintu kulkas karena suhu di bagian ini lebih mudah berubah-ubah sehingga susu
akan mudah rusak.
2. Cara Menyimpan Susu yang Telah Dibuka[12]
Susu
yang telah dibuka harus digunakan maksimal satu hari setelah kemasannya dibuka
walaupun telah disimpan di kulkas. Kebiasaan menuang susu di meja makan
kemudian memasukkan lagi ke dalam kulkas dan melakukannya terus untuk satu
kemasan yang sama selama berhari-hari menyebabkan susu rusak karena kontaminasi
bakteri saat dibawa keluar dari kulkas dan disimpan lagi dalam waktu yang lama.
3. Cara Menyimpan Susu Bubuk[12]
Susu bubuk disimpan dalam kontainer tertutup rapat dan diletakkan dalam suhu 10 hingga 15oC agar susu bubuk tetap awet. Untuk mencapai
suhu tersebut, susu bubuk
dapat disimpan di bagian pintu kulkas.
4. Cara Menyimpan Susu Kental Manis[12]
Susu
kental manis yang masih dalam kaleng dapat bertahan di suhu ruangan hingga satu tahun. Namun
jika sudah dibuka, susu harus
disimpan
di dalam kulkas dan harus digunakan dalam 8 hingga 20 hari berikutnya.
5. Cara Menyimpan Es Krim[12]
Es
krim mungkin tidak akan membusuk selama disimpan di dalam freezer, namun semakin lama penyimpanan es krim, kelembutan dan kualitas rasanya akan semakin berkurang. Jika masih
dalam kemasan dan disimpan di suhu beku, es krim bisa bertahan hingga dua bulan. Namun jika sudah
dibuka, sebaiknya es krim segera disantap habis karena penyimpanan di dalam
freezer akan membuatnya keras dan mengalami perubahan rasa.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Susu yang merupakan minuman kaya manfaat ini
memiliki berbagai jenis dan macamnya. Susu juga dapat diolah menjadi berbagai
jenis makanan lain seperti yogurt, mentega, keju, es krim dll. Dari segi
manfaat susu memiliki banyak kelebihan seperti mencegah penyakit darah tinggi
dan jantung, menetralisir racun , menambah kekuatan tulang dll. Selain itu susu
juga mampu diserap dengan sempurna dalam tubuh yakni sebesar 100%. Oleh karena
itu susu dikatakan sangat baik dinyatakan sebagai bahan makanan. Susu yang baik adala apabila
jumlah bakteri yang ada sedikit, tidak mengandung spora mikroba pathogen,
bersih yaitu tidak mengandung debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa
yang baik dan tidak dipalsukan.
B. Saran
Dengan
mengetahui segala hal tentang susu, terutama manfaatnya bagi kesehatan dan
tubuh kita, hendaknya kita memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Dalam bidang
kesehatan, hendaknya kita selalu mengonsumsi susu dengan porsi yang cukup
setiap hari agar kit abisa merasakan manfaatnya sesuai yang disebutkan dalam
penjelasan di atas. Dengan menerapkan penggunaan susu secara bijaksana, kita
dapat memperoleh hasil yang maksimal.
Milk is an important source of vitamin D, calcium,
riboflavin, protein and energy during pregnancy,
yet many women choose or are advised to avoid
drinking milk for a variety of reasons, including the prevention
of allergies in their children.1 Limiting milk intake compromises
the quality of the maternal diet;2–5 women who
avoid milk may not obtain adequate levels of vitamin D, calcium,
protein or riboflavin. Milk restriction is a risk factor for
pregnancy-associated hypertension.6 Low vitamin D intake is
associated with neonatal rickets7 and decreased birth weight.8
Inadequate consumption of riboflavin is associated with decreases
in weight,9 length and head circumference of babies
at birth.10
Although most nutrients in milk may be replaced from
other foods or with supplements, vitamin D is found in few
commonly consumed foods except for milk fortified with the
vitamin.11 Dermal conversion of the precursor cholecalciferol
to activated vitamin D is a seasonally unreliable source, particularly
when the exposure of skin to sunlight is limited,12
and may not compensate for low nutritional intake. Under
optimal conditions, 15 minutes of daily exposure of the hands
and face to sun is required to produce adequate vitamin D,13
but this conversion is reduced by the prolonged winter season
at more polar latitudes,14,15 by use of sunscreens with a sun
protection factor (SPF) above 8,16 and by ozone air pollution.13
People whose skin pigmentation is dark are more vulnerable
than others to insufficient vitamin D conversion.16
In this study we compared the birth weight, crown–heel
length and head circumference of newborns whose mothers
restricted their intake of milk during pregnancy with the babies
of those who did not.
Methods
Between May 1997 and June 1999 we screened 2091 women
who attended prenatal classes at 3 hospitals in Calgary, Alberta.
The study was approved by the Institutional Review Board
of McGill University as well as by the Calgary Health Region
Ethics Board.
Women were given an anonymous questionnaire that
asked whether they would be willing to participate in an indepth
study on dietary intake and pregnancy outcomes, and if
they restricted dairy products for any reason. For consenting
participants, a second questionnaire asked for demographic
data, lifestyle characteristics (e.g., smoking habits, highest
level of education achieved) and if they had certain metabolic
conditions (e.g., diabetes, hypertension) or a multiple pregnancy.
Only healthy mothers with singleton pregnancies were
CMAJ • April 25, 2006 • 174(9) | Online-1
© 2006 CMA Media Inc. or its licensors
DOI:10.1503/cmaj.1041388
Cynthia A. Mannion, Katherine Gray-Donald, Kristine G. Koski
An abridged version of this article appeared in the Apr. 25, 2006, issue of CMAJ.
Association of low intake of milk and vitamin D
during pregnancy with decreased birth weight
Background: Some pregnant women may be advised or
choose to restrict milk consumption and may not take appropriate
supplements. We hypothesized that maternal milk
restriction during pregnancy, which can reduce intakes of
protein, calcium, riboflavin and vitamin D, might represent a
health risk by lowering infant birth weight.
Methods: We screened women between the ages of 19 and
45 years who were attending prenatal programs in Calgary,
Alberta (51°N) for low milk consumption (£ 250 mL/d). Using
repeat dietary recalls, we compared these women and their
offspring with women whose daily milk consumption exceeded
250 mL (1 cup). Birth weight, length and head circumference
were obtained from birth records.
Results: Women who consumed £ 250 mL/d of milk (n = 72)
gave birth to infants who weighed less than those born to
women who consumed more (n = 207; 3410 g v. 3530 g, respectively;
p = 0.07). Infant lengths and head circumferences
were similar. Women who restricted milk intake had statistically
significantly lower intakes of protein and vitamin D
as well. In multivariate analyses controlled for previously established
predictors of infant birth weight, milk consumption
and vitamin D intake were both significant predictors of
birth weight. Each additional cup of milk daily was associated
with a 41 g increase in birth weight (95% confidence interval
[CI] 14.0–75.1 g); each additional microgram of vitamin
D, with an 11 g increase (95% CI 1.2–20.7 g). Neither
protein, riboflavin nor calcium intake was found to predict
birth weight.
Interpretation: Milk and vitamin D intakes during pregnancy
are each associated with infant birth weight, independently
of other risk factors.
Abstract
Cite this article as CMAJ 2006;174(9). DOI:10.1503/cmaj.1041388
included; subjects with metabolic, cardiovascular or renal disorders
(identified from self-reports or later medical-chart review)
were excluded.
Of the 307 women initially screened who indicated that
they restricted milk, 72 (24%) agreed to participate. Since we
did not wish to study a large sample of women who did not restrict
their milk intake, we accepted available subjects only until
we had about 3 times as many nonrestrictors as restrictors.
For purposes of analysis we defined restriction as the daily
consumption of 1 cup (250 mL) of milk or less. This amount
was chosen because the Canada Food Guide for Healthy Eating
recommends servings in cup measures; cup portions are
easily recognizable; and it is known that 1 cup of milk supplies
approximately 300 mg of calcium, 90 IU of vitamin D,
5 g of fat (in 2% milk), 8.6 g protein, 0.43 g riboflavin and
536 mJ (128 kcal) energy.17 We anticipated that women who
consumed less than a cup of milk per day would be unlikely
to achieve the recommended adequate intakes of vitamin D
(200 IU = 5 μg) and calcium (1000 mg/d) from other food
sources without vitamin and mineral supplementation. In a
well-nourished population such as our own, concerns about
meeting the estimated average requirement (EAR) for protein
and riboflavin are fewer, since these nutrients are more easily
replaced by other commonly consumed foods such as meat,
grains and cereals.
Trained nutritional interviewers telephoned the study subjects
on random days of the week, including Saturday and
Sunday. Each participant was interviewed 3 or 4 times (86%,
4 times). We supplied interviewers and participants with a
styrofoam cup (195 mL), a plate (25 cm diameter), a bowl
(340 mL) and a flexible 30-cm ruler to assist with estimating
quantities. Dietary data were collected by repeat 24-hour dietary
telephone recalls, an approach that has been has previously
been validated.18,19
Food data were coded and entered into a software program
for nutrient analysis. Food data were verified against
original records by the data coder and reverified by a registered
dietitian. Food and nutrient data were analyzed with the
1997 CANDAT Nutrient Calculation System (Godin London
Inc., London, Ont.) with use of the Canadian Nutrient File,20
plus information for 267 food items that was obtained from
either food manufacturers’ available data or the USDA Nutrient
Database.21 Daily intake of vitamin and mineral supplements
was recorded and added to each mother’s dietary
record. Interviewers also recorded if mothers currently
smoked cigarettes and their highest level of education. We
calculated maternal weight gain by subtracting pregravid
weight from the last recorded maternal weight before delivery.
Infant birth weight, crown–heel length and head circumference
were taken from medical records.
Data for milk and nutrient intake (diet plus vitamin and
mineral supplements) were first transformed to approximate
normal distributions; the total variation was then adjusted
with the 1986 National Research Council method.22 We removed
day-to-day variability so we could estimate prevalence
of nutritional inadequacies compared with dietary reference
intakes.23,24 The prevalence of inadequacy for a given nutrient
was estimated by the percentage of mothers with intakes
below the EAR, defined as the median of the requirement distribution
for a population.23 Differences in numbers of restrictors
(£ 1 cup milk) and nonrestrictors (> 1 cup) who
consumed less than the EARs for protein (0.88 g/kg/d) and
riboflavin (1.2 mg/d) were calculated and tested (c2). Dietary
adequacy was estimated as the percentage of the group with
CMAJ • April 25, 2006 • 174(9) | Online-2
Research
Table 1: Characteristics of women who did and did not restrict their milk consumption
during pregnancy and measurements of their newborns
Mean (standard deviation)*
Characteristic
No restriction
n = 207*
Restriction
n = 72*
p
value
Maternal
Age at delivery, yr 31.2 (4.3) 30.0 (4.54) 0.11
Height, m† 1.66 (0.62) 1.65 (0.52) 0.053
Weight before pregnancy, kg† 63.9 (10.0) 62.0 (13.36) 0.25
Body mass index, kg/m2 23.2 (3.8) 22.9 (4.61) 0.61
Gestational weight gain, kg 16.8 (5.4) 15.9 (6.65) 0.32
Smoking, no. (%)† 12 (5.8) 4 (5.56) 0.97
University education, no. (%)† 94 (46.5)‡ 37 (53.62)‡ 0.33
Vitamin or mineral supplement use, no. (%)† 201 (97.1) 38 (54.28)‡ 0.050
Infant
Birth weight, g 3530 (466) 3410 (475)‡ 0.07
Length, cm 51.4 (3.6)‡ 51.1 (3.5)‡ 0.46
Head circumference, cm 34.6 (1.5)‡ 34.3 (1.5)‡ 0.19
*Unless indicated otherwise.
†Self-reported.
‡2.8%-4.2% of study participants did not respond to the question (2–8 data were missing).
adjusted nutrient intakes below the EAR. We reported mean
daily adequate intakes for calcium and vitamin D only because
the scientific evidence to date for these nutrients is insufficient
to derive EARs.23
We conducted a multivariable analysis to control for baseline
indicators and nutrient intake. To determine the impact
of milk restriction on birth parameters and to control for confounding
variables, we developed a baseline regression model
that included maternal education, height, gestational weight
gain, body mass index and gestational age at delivery as independent
variables. Smoking was not included because very
few of the women smoked, and in our sample this variable
was not related to birth weight. With these established predictors
controlled for in our regression models, we then entered
5 foods or nutrients (cups of milk, vitamin D, calcium,
riboflavin and protein) one at a time, since they were not independent,
into 1 of 2 separate regression models: a milk intake
model and a nutrient model. We chose birth weight,
head circumference and crown–heel length as the dependent
variables for either regression model. A p value of 0.05 or less
was considered statistically significant.
Results
During the 2 years of data collection spanning all 4 seasons,
307 of 2091 women attending prenatal classes (14.7%) indicated
that they restricted their milk intake throughout pregnancy.
The reasons cited for milk restriction were mainly lactose
intolerance (usually self-diagnosed) and gastrointestinal
discomfort.
Our study groups were similar for maternal age, weight
before pregnancy, body mass index, gestational weight gain,
smoking habits and education (Table 1). Our sample population
was healthy and well-educated; the majority cited Canada
as their country of origin, smoked little and fell (75%) within
the recommended pregravid weight range.
Our pregnant women reported use of prenatal vitamins or
mineral supplements, with lower use among milk restrictors
(Table 1). Energy and fat intakes were similar between the 2
groups, but significantly more milk restrictors had protein intakes
below the calculated EAR for pregnant women than
nonrestrictors. Riboflavin was unaffected by milk restriction
— it is found in many other foods, and all women had adequate
intakes (Table 2).23,24
When milk or vitamin D intakes were added into our multiple
regression models, each emerged as a significant independent
predictor of birth weight (Table 3), although neither predicted
infant length or head circumference. When we
controlled for previously established predictors of infant birth
weight25 and used the b coefficient to measure the magnitude
of the effect of milk intake on birth weight, we found that for
each cup of milk consumed per day, birth weight increased
41 g (95% confidence interval [CI] 13–75 g) on average (Table
3). Thus, mothers who consume the 3 cups of milk per day
that is recommended in Canada’s Food Guide for Healthy Eating
throughout pregnancy, at birth their infants would weigh
123 g more, on average. We also observed a positive relation
between vitamin D intake and birth weight: for each 1-μg increase
of dietary vitamin D (food plus supplements), birth
weight was increased by 11g (95% CI 1.2–20.7 g; Table 3).
Similar regression models with protein entered as the sole
nutrient indicated no independent contribution of protein to
birth weight, infant length or head circumference in our otherwise
healthy mothers. Neither did calcium or riboflavin predict
birth weight (Table 3), infant length or head circumference
(data not shown).
Interpretation
Our study showed that restricting fortified milk or vitamin D
intake during pregnancy lowered infant birth weight in otherwise
healthy, nonsmoking, well-educated mothers. This is an
important finding because increasing numbers of women are
restricting milk consumption during pregnancy, believing
that it will lower fat intake,26–28 minimize weight gain,29 treat
self-diagnosed lactose intolerance27 or prevent their children
from developing allergies.1 Mothers and health professionals
need to understand that this dietary practice may restrict essential
nutrients and may negatively affect fetal development.
Our study is limited because only 24% of women who reported
restricting milk consumption agreed to participate.
We were not able to obtain maternal or infant blood samples
for measurements of vitamin D; however, deficiency of this
vitamin is well documented among Canadian women,30,31 including
a recent study that found Canadian mothers and their
infants to have high rates of vitamin D deficiency.32 Our vitamin
D results are restricted to women living at latitudes associated
with low sunlight exposure; milk-restricting pregnant
women living in other areas may have better vitamin D status.
Vitamin D may be an important regulator of fetal growth.
The vitamin reportedly increases fetal weight in women with
hypocalcemia33 and improves maternal and fetal plasma concentrations
of 25-hydroxycholecalciferol.34 Low concentrations
of vitamin D (< 40 nmol/L) have been associated with
CMAJ • April 25, 2006 • 174(9) | Online-3
Research
Table 2: Nutrient intakes of women who did and did not
restrict their milk consumption during pregnancy
Mean (standard deviation)
Nutrients
No restriction
n = 207
Restriction
n = 72
p
value
Energy, kcal 2465 (501) 2424 (664) 0.06
Fat, g/d 83 (25) 87 (33) 0.33
Protein, g/d 106 (27) 95 (35) 0.014
Protein, % < EAR* 9.2† 20.8† 0.009
Riboflavin, mg/d 6.5 (4.8) 6.6 (6.1) 0.80
Riboflavin, % < EAR* 0 0
Calcium, mg/d 1864‡ (497) 1726‡ (765) 0.16
Vitamin D, μg/d‡ 13.1‡ (4.5) 7.9‡ (4.7) < 0.001
Note: EAR = estimated average (dietary) requirement.
*EARs for pregnancy (protein 0.88 g/kg/d, riboflavin 1.2 mg/d) were taken
from Dietary Reference Intakes: Applications in Dietary Assessment.
Washington: Institute of Medicine National Academy Press; 2000.23,24
†p < 0.001 compared with EAR.
‡Nutritionally adequate, according to Dietary Reference Intakes (see above).
low concentrations of insulin-like growth factor (IGF-1) in
maternal and umbilical cord serum from women with preeclampsia
and infants who are small for their gestational
age.35 Women who practice milk restriction reportedly experience
diminished serum concentrations of vitamin D and calcium,
and decreased third-trimester weight gain.36 One author37
has reported an inverse association between calcium
absorption and birth weight that was partially explained by
vitamin D intake. Thus, our study demonstrates that in pregnant
women living where sun conditions for year-round vitamin
D synthesis are less than ideal,12,30,31 poor vitamin D intake
from food sources (including fortified milk) and failure
to select appropriate vitamin and mineral supplementation
can result in lower infant birth weight.
In the past few years, it has been suggested that currently
recommended vitamin D intakes may be too low to prevent
insufficiency in the general population.15,38,39 Some authors39,40
have urged higher intake recommendations for vitamin
D in North America for those living at or above latitudes
ranging from 42° to 52° N, similar to practices in
European countries.41 Our study results suggest that increased
recommendations for vitamin D intake should extend
to pregnant women. Current recommendations to restrict
intake of fortified milk are clearly ill-advised for those
living at latitudes where dermal conversion of 7-dehydrocholecalciferol
to active vitamin D is seasonally limited. Fortified
milk provides an important source of vitamin D and
calcium, and contributes to adequate protein intake. Practitioners
should query pregnant women about their consumption
of fortified milk and multivitamins, specifically those
containing vitamin D, to avoid the risk of lowered birth
weight as a result of insufficient intake, particularly when
and where sun exposure is limited.
REFERENCES
1. Chandra RK. Food allergy and nutrition in early life: implications for later health.
Proc Nutr Soc 2000;59:273-7.
2. Godfrey KM, Barker DJ, Robinson S, et al. Maternal birthweight and diet in pregnancy
in relation to the infant’s thinness at birth. Br J Obstet Gynaecol 1997;104:663-7.
3. Giddens JB, Krug SK, Tsang RC, et al. Pregnant adolescent and adult women have
similarly low intakes of selected nutrients. J Am Diet Assoc 2000;100:1334-40.
4. Ortega RM, Quintas ME, Martinez RM, et al. Riboflavin levels in maternal milk: the
influence of vitamin B2 status during the third trimester of pregnancy. J Am Coll
Nutr 1999;18:324-9.
5. Di Cintio E, Parazzini F, Chatenoud L, et al. Dietary factors and risk of spontaneous
abortion. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2001;95:132-6.
6. Duvekot EJ, de Groot CJ, Bloemenkamp KW, et al. Pregnant women with a low
milk intake have an increased risk of developing preeclampsia. Eur J Obstet Gynecol
Reprod Biol 2002;105:11-4.
7. Bulloch B, Schubert CJ, Brophy PD, et al. Cause and clinical characteristics of rib
fractures in infants. Pediatrics 2000;105:E48.
8. Marya RK, Rathee S, Lata V, et al. Effects of vitamin D supplementation in pregnancy.
Gynecol Obstet Invest 1981;12:155-61.
9. Sanchez DJ, Murphy MM, Bosch-Sabater J, et al. Enzymic evaluation of thiamin,
riboflavin and pyridoxine status of parturient mothers and their newborn infants
in a Mediterranean area of Spain. Eur J Clin Nutr 1999;53:27-38.
CMAJ • April 25, 2006 • 174(9) | Online-4
Research
This article has been peer reviewed.
From the Faculty of Nursing (Mannion), University of Calgary, Calgary, Alta.,
and the School of Dietetics and Human Nutrition (Koski, Gray-MacDonald,
Koski) and the Faculty of Medicine (Koski), McGill University, Ste. Anne de
Bellevue, Que.
Acknowledgements: We are grateful to Louise Johnson-Down for her help
with the nutrient analyses.
Funding sources for our study included the Dairy Farmers of Canada and
FRSQ, Fonds de recherche en Santé du Québec.
Competing interests: None declared.
Contributors: Kristine Koski conceived the idea that milk restriction might
be related to poor fetal growth. She and Katherine Gray-Donald received funding
to conduct the study, which was implemented and managed by Cynthia
Mannion. All authors were involved in data analysis, drafting the paper and
revising it. All authors edited the final submission and approved this article
in its final form.
Table 3: Two regression models for predicting infant birth weight (n = 269)
Milk intake model* Nutrient model†
Characteristic b coefficient (95% CI) p value b coefficient (95% CI) p value
Gestational
Weight gain, kg 13.13 (4.04 to 22.17) 0.005 13.73 (4.73 to 22.73) < 0.001
Age, wk 24.73 (1.88 to 47.60) 0.035 25.19 (2.28 to 48.10) 0.032
Maternal
Age, yr –13.74 (–24.40 to –3.30) 0.012 –14.69 (–25.39 to –3.99) 0.008
Height, cm 83.08 (32.84 to 133.32) 0.001 87.38 (37.13 to 137.62) < 0.001
Education, yr‡ 112.99 (7.89 to 218.09) 0.036 111.92 (6.63 to 217.21) 0.038
Body mass index, kg/m2 24.89 (11.62 to 38.16) < 0.001 26.68 (13.37 to 39.99) < 0.001
Milk intake, L 9.75 (3.30 to 17.77) 0.016 NA
Cups* 41.21 (13.96 to 75.12) NA
Vitamin D intake, μg/d† NA 10.97 (1.19 to 20.75) 0.029
Note: CI = confidence interval, NA = not applicable.
*Intercept = –141.57, overall R2 = 0.1806, F = 7.93, p < 0.0001 for the model. After controlling for gestational weight gain and
maternal age, height, education and body mass index, every 250-mL (1-cup) increase in daily milk intake was associated with
an increase in infant birth weight of 41.2 g.
†Intercept = –332.65, overall R2 = 0.1773, F = 7.76, p < 0.0001 for the model. After controlling for the above factors, every
1-μg increase in daily vitamin D intake was associated with an increase in infant birth weight of 11.0 g.
‡Categorized as those with university education and those without.
10. Badart-Smook A, van Houwelingen AC, Al MD, et al. Fetal growth is associated
positively with maternal intake of riboflavin and negatively with maternal intake of
linoleic acid. J Am Diet Assoc 1997;97:867-70.
11. Starkey LJ, Johnson-Down L, Gray-Donald K. Food habits of Canadians: comparison
of intakes in adults and adolescents to Canada’s Food Guide to Healthy Eating.
Can J Diet Pract Res 2001;62:61-9.
12. Webb AR, Kline L, Holick MF. Influence of season and latitude on the cutaneous
synthesis of vitamin D3: exposure to winter sunlight in Boston and Edmonton will
not promote vitamin D3 synthesis in human skin. J Clin Endocrinol Metab 1988;
67:373-8.
13. Holick MF. Environmental factors that influence the cutaneous production of vitamin
D. Am J Clin Nutr 1995;61:638S-45S.
14. Ovesen L, Andersen R, Jakobsen J. Geographical differences in vitamin D status,
with particular reference to European countries. Proc Nutr Soc 2003;62:813-21.
15. Glerup H, Mikkelsen K, Poulsen L, et al. Commonly recommended daily intake of
vitamin D is not sufficient if sunlight exposure is limited. J Intern Med 2000;247:
260-8.
16. Grover SR, Morley R. Vitamin D deficiency in veiled or dark-skinned pregnant women.
Med J Aust 2001;175:251-2.
17. Milk, Nutrition Communications: Making Healthy Eating Easy. Milk facts: nutrients
in milk. Available: www.media@milknutrition.org/media/index.html (accessed
2006 Feb 20).
18. Casey PH, Goolsby SL, Lensing SY, et al. The use of telephone interview methodology
to obtain 24-hour dietary recalls. J Am Diet Assoc 1999;99:1406-11.
19. Galasso R, Panico S, Celentano E, et al. Relative validity of multiple telephone versus
face-to-face 24-hour dietary recalls. Ann Epidemiol 1994;4:332-6.
20. Health Canada. Canadian Nutrient File. Ottawa: Health Canada; 1997. Available:
www.hc-sc.gc.ca/fn-an/nutrition/fiche-nutri-data/index_e.html (accessed 2006
Mar 19).
21. Adams CF. Nutritive value of American foods in common units. Agricultural
Handbook No. 456. Washington: Agricultural Research Services, US Department
of Agriculture; 1975.
22. National Research Council. Nutrient adequacy: assessment using food consumption
surveys. Washington: National Academy Press; 1986.
23. Institute of Medicine. Dietary reference intakes: applications in dietary
assessment. Washington: National Academy Press; 2000.
24. National Academy of Sciences. Dietary reference intakes for energy, carbohydrate,
fiber, fat, fatty acids, cholesterol, protein and amino acids (macronutrients) (2005).
Available: www.nap.edu/openbook/0309085373/html (accessed 2006 Feb 20).
25. Kramer MS. Determinants of low birth weight: methodological assessment and
meta-analysis. Bull World Health Organ 1987;65:663-737.
26. Hagy LF, Brochetti D, Duncan SE. Focus groups identified women’s perceptions of
dairy foods. J Women Aging 2000;12:99-115.
27. Cashel K, Crawford D, Deakin V. Milk choices made by women: what influences
them, and does it impact on calcium intake? Public Health Nutr 2000;3:403-10.
28. Chapman KM, Chan MW, Clark CD. Factors influencing dairy calcium intake in
women. J Am Coll Nutr 1995;14:336-40.
29. Gulliver P, Horwath CC. Assessing women’s perceived benefits, barriers, and stage
of change for meeting milk product consumption recommendations. J Am Diet
Assoc 2001;101:1354-7.
30. Vieth R, Cole DE, Hawker GA, et al. Wintertime vitamin D insufficiency is common
in young Canadian women, and their vitamin D intake does not prevent it.
Eur J Clin Nutr 2001;55:1091-7.
31. Rucker D, Allan JA, Fick GH, et al. Vitamin D insufficiency in a population of healthy
western Canadians. CMAJ 2002;166:1517-24.
32. Weiler H, Fitzpatrick-Wong S, Veitch R, et al. Vitamin D deficiency and whole-body
and femur bone mass relative to weight in healthy newborns. CMAJ 2005;172(6):
757-61.
33. Marya RK, Rathee S, Dua V, et al. Effect of vitamin D supplementation during pregnancy
on foetal growth. Indian J Med Res 1988;88:488-92.
34. Cockburn F, Belton NR, Purvis RJ, et al. Maternal vitamin D intake and mineral
metabolism in mothers and their newborn infants. BMJ 1980;281:11-4.
35. Halhali A, Tovar AR, Torres N, et al. Preeclampsia is associated with low circulating
levels of insulin-like growth factor I and 1,25-dihydroxyvitamin D in maternal
and umbilical cord compartments. J Clin Endocrinol Metab 2000;85:1828-33.
36. Specker BL. Do North American women need supplemental vitamin D during
pregnancy or lactation? Am J Clin Nutr 1994;59:484S-90S.
37. Arden NK, Major P, Poole JR, et al. Size at birth, adult intestinal calcium absorption
and 1,25(OH)2 vitamin D. QJM 2002;95:15-21.
38. Hollis BW, Wagner CL. Assessment of dietary vitamin D requirements during
pregnancy and lactation. Am J Clin Nutr 2004;79:717-26.
39. Vieth R, Fraser D. Vitamin D insufficiency: no recommended dietary allowance exists
for this nutrient. CMAJ 2002;166(12):1541-2.
40. Ritchie LD, King JC. Dietary calcium and pregnancy-induced hypertension: Is there
a relation? Am J Clin Nutr 2000;71:1371S-4S.
41. Erkkola M, Karppinen M, Jarvinen A, et al. Folate, vitamin D, and iron intakes are
low among pregnant Finnish women. Eur J Clin Nutr 1998;52:742-8.
CMAJ • April 25, 2006 • 174(9) | Online-5
Research
Correspondence to: Dr. Kristine Koski, Director, School
of Dietetics and Human Nutrition, McGill University,
21111 rue Lakeshore, Ste. Anne de Bellevue, QC H9X 3V9;
kristine.koski@mcgill.ca
Editor’s take
• Women increasingly restrict milk intake during pregnancy
for a variety of reasons. Does this have an effect on their infants’
birth weight?
• In this study, women whose daily consumption of milk during
pregnancy was 1 cup (250 mL) or less consumed less protein
and vitamin D and gave birth to smaller babies than did
mothers who drank more milk. Every 1-cup increase in daily
milk consumption increased birth weight by 41 g; each 1-μg
increase in daily vitamin D intake increased it by 11 g.
Implications for practice: Clinicians should be alert to the effects
of milk restriction and its associated reduction in vitamin D
intake, and encourage pregnant women to maintain milk consumption.
Adequate intake of vitamin D is especially important
during winter months.
DAFTAR PUSTAKA
2Buckle,
K.A., R. A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
3http://simpleisperfect.wordpress.com/2010/06/21/syarat-susu-yang-baik/#more-662(diunduh
pada tanggal 12 November 2011)
4http://kamicintapeternakan.blogspot.com/2009/07/sifat-sifat-susu.html(diunduh
pada tanggal 18 November 2011)
5Buckle,
K.A., 2009. Ilmu Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
6Rebo
International b.v., Lisse, The Netherlands .Dumont's Lexicon of Cheese.
2004.. ISBN
978-90-366-1689-8. Page 19-21
7Gisslen,
Wayne.2007. Professional Cooking. John Wiley & Sons, Inc. ISBN
978-0-471-66376-8. Page 811.
8http://darrellshop.multiply.com/journal/item/5/Proses_UHT_Upaya_Penyelamatan_Gizi_pada_Susu
(diunduh pada tanggal 12 November 2011)
10http://www.indosiar.com/ragam/49546/susu-uht-bernilai-gizi-lebih(diunduh
pada tanggal 12 November 2011)
11http://www.scribd.com/doc/34800797/Bab-10-Uji-Kualitas-Susu(diunduh
pada tanggal 12 November 2011)
12http://gosiphot.me/cara-menyimpan-susu-yang-baik-dan-benar.html/feed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar